Cerpen AS Sumbawi
Sungguh. Beruntunglah anda yang bisa baca-tulis. Juga punya kesempatan membaca sebuah tulisan dan mengetahui bahwa Saya telah dijahati. Saya benar-benar telah difitnah.
Memang, ini
bukan pertama kalinya. Bahkan sampai sekarang ini, sejak berabad-abad yang
lalu, entah sudah berapa jutaan, milyaran, triliunan kali Saya selalu
dimunculkan seperti itu. Saya dijadikan tokoh dengan berbagai macam profesi,
jenis kelamin, klasifikasi umur, watak, kejadian, dan sebagainya. Beberapa
orang penulis meletakkan Saya sebagai tokoh dari berbagai tulisan; baik novel,
cerpen, novelet, dan entah apalagi macamnya; mulai dari cerita cinta yang
romantis, detektif, misteri, horor, silat, perjuangan kaum tertindas,
petualangan, pencarian, dan sebagainya.
Di antara
penulis yang pernah ada dan yang masih ada di dunia, penulis yang berperawakan
kurus, berambut pendek yang ikal, berkulit kusam karena jarang mandi, berbola
mata menonjol dengan sinar mata yang suram akibat kurang tidur dan jalan-jalan,
namun yang menjadi khas fisiknya adalah tiga buah tahi lalat di pipi sebelah
kiri yang membentuk segitiga kecil sama sisi inilah yang selalu mengganggu
keberadaan Saya dengan menjadikan Saya sebagai tokoh yang mengidap penyakit
psikologis. Psikopatik. Narcissis, neurotik, oedipus complex, pengidap depresi
dan lain-lain merupakan sesuatu yang tak asing bagi tokoh Saya.
Malam itu,
seperti beberapa kesempatan sebelumnya, penulis itu kembali mengagetkan setelah
dua hari Saya merasa nyaman.
"Yah!"
katanya bangkit dari rebahan sembari menyungkurkan sebuah buku sekenanya ke
punggung kasur.
"Hei,
bangun."
"Ah,
tuan penulis mengganggu saja." Ia tersenyum.
"Bangunlah.
Aku punya sesuatu untukmu," katanya menyalakan komputer.
"Fitnah?!
Pasti yang itu-itu saja."
"Jangan
komentar dulu. Yang ini lain dari yang lainnya," katanya meyakinkan.
"Sudah.
Jangan cemberut!" tambahnya seraya meng-click program Microsoft
Word.
"Awas,
kalau mengganggu! Akan kubunuh!" ancamnya dengan berlagak kepada Saya.
Lantas ia menarikan jari-jari tangannya pada hamparan tombol keyboard komputer.
*
Cerpen yang
ditulisnya itu menceritakan seorang anak laki-laki dua puluhan tahun yang
melakukan mutilasi terhadap tubuh ayahnya. Dalam pandangannya, si ayah
merupakan ayah dan suami yang bejat bagi anak dan ibunya. Si ayah tak
menghiraukan kehidupan keluarga. Kerap melakukan penganiayaan terhadap istri
dan anak laki-lakinya. Merampas uang hasil kerja istrinya untuk mabuk dan
berjudi dan berkencan dengan pelacur. Bahkan juga kerap membawa pelacur tidur
di rumah. Hanya tampak satu perilaku baik dalam diri si ayah, bahwa ia
menyayangi anak perempuannya yang masih kecil. Ia kerap membawa oleh-oleh untuk
anak perempuannya itu ketika pulang.
Merasakan
tingkah laku ayahnya, dalam pikiran anak laki-laki itu bersarang keinginan
untuk membunuhnya. Setelah beberapa lamanya waktu, rencana itu selalu gagal
dilaksanakan akibat segala sesuatunya tidak mendukung. Di samping itu, ia
khawatir jangan-jangan ibunya akan berkurang kasih sayang kepadanya setelah tahu
bahwa ia membunuh si ayah.
Pagi itu rumah tampak sepi. Hanya ada si anak laki-laki dan si
ayah. Sementara ibunya pergi ke pasar dan adik perempuannya pergi sekolah di
taman kanak-kanak. Melihat ayahnya yang sedang tidur setelah semalam membawa
pulang seorang pelacur dan diteruskan dengan mabuk, ia merasa segala sesuatu
mendukung dirinya untuk melancarkan rencana yang sudah menjadi obsesi terbesar
dalam hidupnya. Ia kemudian mengambil pisau besar dan menghujam dada ayahnya.
Melihat ayahnya meronta, ia menambah intensitas tikaman pisau hingga maut
melenggang pergi membawa nyawa ayahnya.
Ia menyeret
tubuh ayahnya ke lantai. Kemudian mulai melunaskan apa yang selama ini sering
dibayangkannya. Menginjak-injak wajah ayahnya. Menendang kepalanya seperti
dalam sepak bola. Membanting kedua tangan dan menghantamkan kedua kakinya ke
tembok yang kerap memukul dan menendang ibu dan dirinya. Mengodol-odol perutnya
yang membuatnya tak peduli pada kehidupan keluarga. Memotong kemaluannya yang
sering digunakan dengan pelacur. Menyakiti ibunya.
Setelah isi
dadanya telah dimuntahkan, plong, ia kemudian berusaha menghilangkan
jejak-jejak perbuatannya. Ketika kembali setelah menguburkan potongan-potongan
tubuh ayahnya yang dibungkusnya dengan karung, ia terkejut saat melihat ibunya
telah duduk di kursi dalam kamar. Kepala si ibu bertumpu pada lengannya yang
menyilang di atas sandaran kursi. Dan jari-jari tangannya memegang sobekan kaos
dalam si ayah. Sementara darah mengotori separuh bagian kamar.
Si Ibu
berkata: "Apa yang terjadi? Kau membunuhnya?" Ia tetap diam dan
berjalan mendekat.
“Jadi benar
kau membunuhnya?! Hei?!" si ibu menamparnya. Ia hanya diam sembari
memandang mata ibunya yang bertambah merah. Si ibu kemudian pergi.
Ia sedang
menggulung seprei yang berlumuran darah ketika ibunya kembali dengan setimba
air dan kain pel. Kemudian membersihkan lantai.
“Cepat.
Sebelum adikmu tahu,” kata si ibu.
Segera ia
membawa seprei ke belakang, kemudian kembali dengan setimba air bersih.
“Di mana
jenazahnya?”
“Telah
kusingkirkan.”
“Di mana?”
“Tempat yang
aman. Ibu tak usah khawatir.”
*
Sudah tiga hari si ayah tak terlihat. Si anak senang bahwa ayahnya
mati di tangannya. Ia tak rela ayahnya mati dengan terhormat, karena si ayah
tak layak untuk itu. Maka, ia sendiri yang harus membunuhnya. Menurutnya; bahwa
mati oleh tangan darahdaging sendiri adalah jalan kematian paling hina. Ia
yakin, dengan begitu, semua orang akan beranggapan bahwa ayahnya bejat. Ia
senang dengan hal itu, karena ayahnya benar-benar bejat. Bajingan. Dan ia
merasa telah membebaskan keluarganya dari duri dalam daging. Membebaskan ibu.
Sebelum peristiwa itu, si anak pernah menduga
bahwa ibunya akan shock jika mengetahui bahwa dirinya telah membunuh
ayahnya. Tak apa-apa. Memang perlu waktu, pikirnya. Kemudian si anak
membayangkan ibunya menyambut gembira ketika ia menemuinya dengan kabar bahwa
ia telah membunuh bajingan itu. Ibunya akan mengucapkan mengucapkan ribuan
terima kasih dan ribuan pujian. Seperti seorang putri yang diselamatkan oleh
seorang ksatria berkuda putih yang gagah berani. Namun, yang terjadi kemudian
adalah ibunya banyak diam dan tak menghiraukan dirinya.
Dalam keadaan seperti itu, si anak kerap
memperhatikan ibunya ketika sedang melakukan pekerjaan. Pandangan mata ibunya
menerawang jauh dan kosong. Si anak yakin bahwa ibunya memikirkan hal-hal yang
tak jauh-jauh dari peristiwa itu.
Suatu kali ia memperhatikan ibunya yang melamun
ketika sedang mengiris bawang merah. Tanpa sadar ia mengiris jarinya sendiri.
“Ibu!” ingatnya. Si ibu tersentak melihat
jarinya berlumuran darah. Matanya merah.
Si anak buru-buru memegang tangan ibunya untuk
menghisap lumuran darah di jarinya. Si ibu mengibaskan tangannya lantas pergi.
Memang butuh waktu untuk membuat ibu kembali dan lebih menyayangiku, pikirnya.
Sementara si adik perempuan sering menanyakan
perihal ayah kepada ibunya. Namun, ibunya selalu mengatakan bahwa si ayah pergi
karena urusan penting. Sebenarnya, si anak laki-laki tidak setuju dengan
jawaban ibunya yang berbohong kepada adik perempuannya itu. Ia berharap ibunya
akan berterus-terang bahwa bajingan itu telah mampus dengan sepantasnya.
Beberapa hari kemudian, si anak ditangkap polisi
atas laporan ibunya. Jenazah si ayah pun telah diketemukan dan tengah diperiksa
tim forensik. Dalam keadaan seperti itu, dalam proses persidangan kasusnya, si
anak yakin bahwa palu hakim ada di pihaknya. Namun jika sebaliknya, ia
menganggap palu hakim telah semena-mena kepadanya. Karena ia merasa berbuat
kebaikan dengan membunuh bajingan itu. Si anak jadi membenci ibunya karena maju
menjadi saksi dalam persidangan. Menurutnya, seharusnya ibunya menjadi lebih
sayang kepadanya. Karena ia telah menyelamatkan ibunya. Si anak juga membenci
para wartawan yang seenak-udel menuduhnya sebagai pembunuh berdarah dingin.
Hari itu palu hakim memutuskan si anak bersalah. Sehabis
persidangan si ibu mengunjungi dirinya di penjara. Tidak seperti biasanya, saat
itu ia bersedia menerima ibunya. Lantaran melihat kesedihan ibunya yang teramat
dalam. Ia sangat menyayangi ibunya.
Sebelum pulang
ibunya berkata: "Aku tak mau kau menjadi buronan dan hidup sengsara dalam
pelarian, Nak. Makanya aku melapor ke polisi. Aku berharap setelah keluar dari
sini, kau bisa menjadi orang baik. Benar-benar sembuh. Aku menyayangimu,
Nak."
Si anak kecewa dan marah. Ia mengumpati mereka semua.
"Ah, bajingan. Mereka semua menganggapku sakit seperti
anggapan dokter jiwa dan psikiater yang tidak valid itu. Psikopat."
"Ya, ya, baiklah. Tapi, aku berharap cepat-cepat keluar dari
sini. Aku ingin mengajarkan kebenaran kepada mereka semua," katanya
tersenyum dengan harapan. {}
*
"Yah.
Selesai," katanya kemudian memencet tombol Control dan S.
"Bagaimana?"
tambahnya.
"Tuan
penulis, Saya bosan. Katanya, ceritanya lain dari yang lain."
"Lho,
memang lain."
"Tapi,
tetap saja dengan penyakit psikologis-psikopatik."
"Ya,
memang. Tapi, bagus khan. Apalagi penutupnya itu," ia menatap ke
layar computer dan membaca dua baris terakhir: "Aku berharap
cepat-cepat keluar dari sini. Aku ingin mengajarkan kebenaran kepada mereka
semua."
"Bisa
kaubayangkan bagaimana seorang psikopat berkata seperti itu," tambahnya
tersenyum. "Pembaca akan shock."
"Tapi,
tuan penulis. Saya bosan menjadi tokoh psikopat. Bagaimana kalau sekali-kali
Saya dijadikan sebagai seorang pria yang tampan, berkelakuan sopan, kaya…"
"Hem,
kaya?! Kok enak?!"
"Ya,
miskin juga nggak apa-apa, deh. Tapi yang rajin bekerja…"
"Profesinya
apa?"
"Ehm,
penulis saja. Seperti tuan." Ia tersenyum.
"Kemudian
Saya jatuh cinta dan menikah dengan seorang…"
"PSK?!"
"Bukan.
Gadis yang sangat cantik. Dan kaya."
"Hem,
lelaki mana yang tak suka?!"
"Iya.
Gambarannya seperti ini, jika seluruh perempuan cantik di dunia ini
dikumpulkan, maka kecantikan perempuan tersebut adalah hasil dari persekutuan
seluruh perempuan cantik tadi. Sederhana, toh."
"Wah.
Aku jadi ingin tahu. Penasaran bagaimana cantiknya dia."
"Pokoknya,
tuan tulis saja seperti itu." Ia mengiyakan kepala dengan tersenyum.
"Dan
bagaimana dengan ceritanya, Saya percayakan kepada tuan. Tapi, harus yang
romantis, heroic, dan happy ending."
"Aku
tidak mau," katanya seraya melompat.
"Itu akan membuat pembaca suka melamun. Mengkhayal."
"Tapi,
Saya ingin seperti itu. Dan Saya yakin, banyak pembaca yang akan suka."
"Pokoknya,
a-k-u t-i-d-a-k m-a-u." Ia diam sejenak. "Kau tahu
karya sastra yang oleh para kritikus dibedakan sastra serius, mainstreem
dan sastra pop, kitch?" Saya hanya diam dan cemberut.
"Tidak
usah kusebutkan bagaimana para kritikus membedakan ciri-ciri keduanya. Tapi,
menurutku,… hei, dengarkan."
"Iya.
Saya tidak tuli."
"Sudah.
Cemberutnya berhenti…" ia mengambil rokok dan menyulutnya. Lihatlah,
gayanya seperti penulis besar. Padahal, mutu karyanya masih kalah dengan
karya-karya dari penulis yang jauh lebih muda darinya. Lihat, bagaimana dia
menghisap rokok dan mengeluarkan asapnya. Huh, menyebalkan.
"Kau
tahu?! Bagiku, karya yang membikin melamun dan mengkhayal itu yang
dikategorikan kitch. Sementara yang membikin merenung dan berpikir itu
yang dikategorikan mainstream."
"Terserah
tuan. Masalahnya, Saya bosan menjadi pengidap penyakit
psikologis-psikopatik."
"Huh,
dikasihtahu kok." Ia mengisap rokoknya. "Sana. Aku mau membaca cerpen
tadi. Barangkali ada yang perlu direvisi," katanya kemudian menyalakan printer.
"Ehm,
enaknya judul apa, ya?!"
"Saya
Bosan Sama Tuan, judul yang bagus."
"Diam.
Awas, kubunuh kau?!" ancamnya.
*
Seminggu
sudah penulis itu tidak menyapa Saya. Maklumlah, ia akhir-akhir ini kerap
bepergian dengan vespa tuanya. Akan tetapi, seminggu tak menyapa Saya masih
cukup sebentar dibandingkan beberapa waktu yang telah berlalu. Ia pernah tak
menyapa Saya selama tiga bulanan. Meskipun, ia sudah beberapa kali mencoba dan
bertemu Saya. Saya tenang dengan keadaan Saya.
Sementara
rumah kecil di sebuah perumahan yang dibelinya dengan kredit itu kerap kosong.
Ia belum beristri dan tinggal sendiri, meskipun menurut rencana dua bulan lagi
ia akan menikah dengan teman kuliahnya dulu. Ia pun jarang berkunjung ke rumah
orangtuanya di luar kota. Hanya lebaran saja.
Tiba-tiba
pagi itu dia pulang dan mengagetkan Saya.
"Hei,
bangun! Aku punya sesuatu," katanya menghidupkan komputer.
"Apa
tuan?!
"Lho,
dasar pikun."
"Benarkah?!"
Kemudian ia
membeberkan idenya. Ceritanya tentang lelaki tampan dari Timur Tengah yang
menjalin cinta dengan seorang gadis yang cantik dan kaya. Berprofesi sebagai
novelis muda yang cukup ternama. Ia seorang yang megalomania, yang melakukan
bunuh diri hanya karena kecewa dengan karyanya. Ia menganggap karya-karyanya
yang terakhir mengalami penurunan kualitas. Tidak sedahsyat karya-karyanya yang
sebelumnya. Sementara kekasihnya, gadis cantik dan kaya itu masuk rumah sakit
jiwa karena kenyataan itu.
Penulis itu
tampak berpikir dan belum mulai menulis.
"Tuan
penulis."
"Hem,
mengganggu saja. Apa?"
"Saya
bosan. Saya ingin dijadikan seperti apa adanya."
"Gila
apa?!" katanya dengan melompat. "Itu sama saja bunuh diri." Saya
merinding.
"Kau
tahu. Kalau aku menjadikan dirimu apa adanya, lantas apa yang akan terjadi. Kau
itu murni. Tidak ada apa-apanya jika tidak dijadikan sebagai yang lain. Makanya,
harus difitnah agar menjadi ada," katanya dengan mimik serius.
"Terserah
tuan, deh. Saya pasrah. Memang sudah nasib Saya menjadi korban fitnah."
*
Memang, ini
bukan pertama kalinya. Bahkan sampai sekarang ini, sejak berabad-abad yang
lalu, entah sudah berapa jutaan, milyaran, triliunan kali Saya dijadikan
korban. Difitnah oleh para penulis yang pernah ada dan yang masih ada di dunia.
Akhirnya, Saya tahu. Dan langkah terbaik bagi Saya selanjutnya adalah masa
bodoh.
Saya masa
bodoh dengan apa yang akan ditulis oleh penulis dengan tiga buah tahi lalat di
pipi sebelah kiri yang membentuk segitiga kecil sama sisi itu. Terserah. Akan
tetapi, sungguh Saya masih beruntung. Karena anda bisa baca-tulis. Dengan
begitu, anda tentu saja bisa menjadi saksi bahwa Saya telah difitnah. Karena
ngomong-ngomong, dua kakek dan dua nenek dari penulis yang tengah kita hadapi
ini, buta dalam bahasa Indonesia. Ia hanya bisa membaca huruf arab dan pegon
saja. Dan kertas-kertas yang menampung huruf-huruf dalam cerpen yang akan
ditulis oleh penulis ini, akan membantu Saya. Begitu juga dengan buku-buku dan
media massa. Menjadi bukti pada pengadilan nanti.
"Bagaimana
tuan penulis?"
"Diam!
Sudah bosan hidup, ya. Minta dibunuh?! (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar