Judul:
Islamku, Islam Anda dan Islam Kita;
Agama Masyarakat Negara Demokrasi Penulis: KH. Abdurrahman Wahid Penerbit: The Wahid Institute Tebal: xxxvi + 412 halaman Cetakan: I, 2006
Peresensi:
M. Husnaini*)
|
Persoalan yang paling rumit di dalam
keberagamaan adalah masalah penafisiran. Kesalahan pada ranah ini akan
berakibat fatal karena dapat mendestruksi keseluruhan nilai yang terkandung di
dalam agama yang luhur ini. Terorisme dan bunuh diri di antaranya dilatari oleh
kesalahan dalam menafsirkan agama tersebut, di samping sebab-sebab lain,
seperti globalisasi, kepentingan politik dan ekonomi. Di sinilah, membedah
pemikiran Gus Dur (KH. Abdurrahman Wahid ) menjadi sangat urgen untuk
mengantarkan kita kepada pemahaman agama (baca: Islam) secara komprehensif.
“Islamku, Islam Anda, dan Islam
Kita” adalah sebuah potret pemikiran Gus Dur tentang Islam dalam kaitannya
dengan isu-isu mutakhir, seperti nasionalisme, demokrasi pluralisme, Hak Asasi
Manusia (HAM), kapitalisme, sosialisme dan globalisasi.
Sebagai seorang cendekiawan, Gus Dur
merupakan tokoh Muslim yang penuh talenta. Pembahasannya tentang Islam selalu
mampu menerobos wilayah-wilayah yang sering tidak terpikirkan oleh para ulama
pada umumnya. Dalam konteks ini, Gus Dur ternyata mampu menghadirkan Islam
mulai dari masa awal kehadirannya hingga saat ini, dari nuansa tekstual hingga
kontekstual, dari aspek struktural hingga kultural.
Seperti pernyataan Dr. M. Syafi’i
Anwar, dalam kata pengantarnya, dalam buku ini, benang merah yang sangat
penting dari pemikiran Gus Dur adalah penolakannya terhadap formalisasi,
ideologisasi, dan syariatisasi Islam. Sebaliknya, Gus Dur melihat kejayaan
Islam justru terletak pada kemampuannya untuk berkembang secara kultural. Oleh
karena itu, Gus Dur lebih memberikan apresiasi kepada upaya kulturalisasi
dibanding upaya ideologisasi. Pemahaman seperti inilah yang menggugah Gus Dur
untuk melantangkan pentingnya pribumisasi Islam, terutama dalam konteks
keindonesiaan.
Dalam upaya ini, menurut Gus Dur,
penafsiran terhadap Islam tidak murni pemahaman atas teks-teks suci belaka,
tetapi juga pemahaman terhadap konteks lokalitas keberagaman dan kekinian.
Dalam aras ini, varian-varian kebudayaan harus didukung oleh pendekatan
tekstual sebagaimana terdapat dalam dasar-dasar fikih dan kaidah-kaidah fikih.
Dengan demikian, Islam harus ditafsir sebagai proses partisispatif dan dinamis.
Pendekatan tersebut merupakan salah
satu karakter terpenting dari mayoritas Muslim, khususnya kalangan Nahdlatul
Ulama (NU). Dalam Muktamar NU tahun 1935, para ulama telah melahirkan sebuah
pandangan keagamaan yang merupakan cikal bakal bagi keindonesiaan, yaitu wajib hukumnya
mempertahankan Indonesia yang—pada saat itu—dipimpin oleh orang-orang
non-Muslim (Hindia Belanda). Salah satu alasannya, agar ajaran Islam dapat
dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari oleh warga negara secara bebas. Selain
itu, Musyawarah Nasional Alim Ulama dan Konferensi Besar NU, terakhir di
Surabaya, juga mengeluarkan maklumat bahwa Pancasila dan Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI) bersifat final.
Dalam kaitan ini, Gus Dur sampai
pada kesimpulan bahwa wacana negara Islam dan wacana politik Islam yang sejenis
merupakan pemahaman yang kurang tepat (hal. 81-84), karena pada dasarnya, Islam
hadir bukan untuk membentuk sebuah institusi negara, melainkan untuk mendorong
terwujudnya nilai-nilai universal. Atas dasar itulah, NU memandang bahwa solidaritas
kemanusiaan menempati urutan teratas baru disusul kemudian solidaritas
kebangsaan dan ke-Islam-an.
Dalam buku ini, Gus Dur memberikan
tiga kerangka keber-Islam-an yang patut kita apresiasi bersama secara serius
dan mendalam, terutama dalam menciptakan Islam yang damai. Pertama, Islamku,
yaitu keber-Islam-an yang berlandaskan pada pengalaman pribadi perseorangan.
Sebagai sebuah pengalaman, pandangan ke-Islam-an seseorang tidak boleh
dipaksakan (harus disamakan) kepada orang lain. Jika itu terjadi, maka akan
mengakibatkan munculnya dislokasi pada orang lain yang pada akhirnya dapat
“membunuh” keindahan dari pandangannya sendiri.
Kedua, Islam Anda, yaitu
keber-Islam-an yang berlandaskan pada keyakinan. Dalam hal ini harus diakui
bahwa setiap komunitas mempunyai keyakinan tersendiri terhadap beberapa hal
tertentu. Pandangan kalangan NU bisa jadi berbeda dengan pandangan kalangan
Muhammadiyah. Demikian pula sebaliknya. Namun perbedaan tersebut jangan sampai
dijadikan alasan untuk saling menebar kekerasan di antara satu kelompok
terhadap kelompok yang lain. Dengan kata lain, keyakinan kelompok tertentu
harus dihormati dan dihargai dengan sepenuh hati.
Ketiga, Islam Kita, yaitu
keber-Islam-an yang bercita-cita untuk mengusung kepentingan bersama kaum
Muslimin. Dalam buku setebal 412 halaman ini, Gus Dur menekankan pentingnya
menerjemahkan konsep kebajikan umum sebagai jembatan untuk mengatasi problem
Islamku dan Islam Anda.
Pada umumnya, diskursus ke-Islam-an
hanya terhenti pada kedua model tersebut. Oleh karena itu, Gus Dur menawarkan
solusi akan pentingnya merajut antara keber-Islam-an yang berbasis pada
pengalaman dan keyakinan untuk membangun pemahaman keagamaan yang berorientasi
pada perdamaian dan keadilan sosial.
Nah, buku ini dapat mengantarkan
kita kepada pemahaman Islam yang berbasis perdamaian, apalagi di tengah
ketegangan yang terjadi antara dunia Barat dan dunia Islam saat ini. Konflik
intra-agama dan antar-agama, serta konflik yang berbasis kepentingan politik.
Karena itu, harapan untuk mengakhiri kekerasan harus senantiasa digaungkan
setiap saat. Sebagaimana Gus Dur telah (selalu) “menyenandungkan” keberagamaan
yang penuh kedamaian, bukan kekerasan. [*]
*) Peresensi adalah Peminat buku,
Alumnus Pondok Pesantren Al-Ishlah, Sendangagung Paciran, Lamongan, Jawa Timur,
Kontributor Jaringan Islam Kultural.
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar