(*) PERPUSTAKAAN MA AL-MUNAWWAROH KEMBANGBAHU (*) creative studies corner (*)

Selasa, 08 Juli 2014

Panggil Aku Kartini Saja



Judul: Panggil Aku Kartini Saja
Penulis: Pramoedya Ananata Toer
Penerbit: Lentera Dipantara, Jakarta
Cetakan: I, Juli 2003
Halaman: 301 halaman


Pada 1899, seorang perempuan pribumi menampik dipanggil Raden Ajeng. Sebagai putri seorang bupati, ia sebenarnya ia berhak menerima penghormatan itu. Tapi setegasnya ia tolak. Di sebuah suratnya, perempuan itu menulis: “Panggil Aku Kartini saja—itulah namaku!”
Apa yang menarik dari kutipan di atas? Singkat saja: Kartini (diam-diam) sudah melakukan pemberontakan atas nilai-nilai kebudayaan Jawa yang feodalistik. Tentu saja ini simpulan yang mengagetkan. Bukan apa-apa, masalahnya pemahaman kita terhadap Kartini memang amat terbatas, jika tidak disebut dangkal, atau bahkan reduksionistik: Kartini adalah pelopor emansipasi perempuan. Titik. Simak pula ritus yang diadakan tiap 21 April sebagai selebrasi kelahirannya: lomba masak-memasak atau rias-merias, sedang Ibu-ibu Dharma Wanita atau PKK mendadak pakai kebaya.
Sedemikian lama pemahaman sempit tentang Kartini itu bertahan. Hanya segelintir yang tahu, kalau Kartini bukan sekadar pelopor emansipasi perempuan, melainkan juga “pengkritik yang tangguh dari feodalisme Jawa dengan segala tetek bengek kerumitannya”, sekaligus juga sebagai “pemula dari sejarah modern Indonesia”. Panggil Aku Kartini Saja adalah biografi yang mencoba menelusuri riwayat Kartini selengkap-lengkapnya, termasuk peran-peran yang selama ini terlampau disempitkan dan disederhanakan, berikut segala kelebihan dan kekurangannya sebagai manusia.
***
Pramoedya langsung mengajak pembacanya berpolemik dengan mengatakan “Kartini sebagai pemikir modern Indonesia pertama-tama, yang tanpanya, penyusunan sejarah modern Indonesia tidaklah mungkin.” (hal. 14) Ini jelas menantang. Pram bukannya tidak mengerti betapa posisi Kartini di kalangan Indonesia sendiri masih diperdebatkan. Alih-alih menyebutnya “pahlawan bangsa”, sementara orang malah lebih menganggap Kartini sebagai “orang Belanda” yang dididik dengan cara dan dalam kultur Belanda, yang dikemudian hari juga hanya menulis dalam Belanda, bukan Melayu atau Jawa.
Masalahnya, demikian Pram, Kartini memang tidak pernah mendapat pelajaran bahasa Melayu atau Jawa (hal. 204). Pelajaran yang diterimanya di Sekolah Rendah memang hanya bahasa Belanda. Tetapi bukan berarti Kartini tak mencoba belajar menulis bahasa Melayu dan Jawa. Dalam surat bertarikh 11 Oktober 1902 untuk karibnya, Stella Zeehandelaar, Kartini sudah berangan-angan: “Kelak aku akan menempuh ujian bahasa-bahasa pribumi, Jawa dan Melayu."
Tapi faktanya, Kartini cuma dikenal sebagai pengarang berbahasa Belanda. Hal ini bisa jadi berkait erat dengan pilihan Kartini yang lebih memilih audiens yang berbahasa Belanda. Jadi ini soal pilihan. Lantas, kenapa Kartini lebih memilih pembaca berbahasa Belanda? Pram menjawab: “Kartini memang dengan sadar hendak memberikan arah baru pada kaum intelektual yang pada masa itu berbahasa Belanda. Lagi pula, jika ia menulis bahasa Jawa, toh masih amat sedikit publik Jawa yang bisa baca-tulis.” Ia khawatir yang ia tulis akan sia-sia.
Lantas, bagaimana menjelaskan Kartini sebagai “pemikir Indonesia modern pertama yang menjadi pemula sejarah Indonesia modern sekaligus”? Pram memberi ancang-ancang: Jangan lupakan kenyataan historis betapa Kartini saat itu hidup dalam taraf kesadaran nasional yang paling awal, yang masih berbentuk embrio serta masih jauh dari kebulatan. Dengan ancang-ancang itu, kita tak keget sewaktu membaca Door duisternis tot Licht (Habis Gelap Terbitlah Terang) kita tak temui kata “kesadaran nasional”, “nasionalisme”, “demokrasi”, “negara”, “bangsa” hingga “kemerdekaan”. Tanpa pemahaman akan latar historis Kartini hidup, kita berarti tak mau tahu akan posisi Kartini.
Dalam gumpalan otak dan hati Kartini, kesadaran nasional itu muncul dalam bentuknya yang “halus dan diam-diam”, tapi bukannya tak disadari. Simak kata-katanya: “Rasa setiakawan memang tiada terdapat pada masyarakat Inlander, dan sebaliknya yang demikianlah justru yang harus disemaikan, karena tanpa dia kemajuan Rakyat seluruhnya tidak mungkin.” (hal. 106). Kita tahu, frase “setiakawan” yang disebutnya itu dikemudian hari kembali muncul dalam bentuk yang berbeda, tapi dengan arti yang kurang lebih hampir sama, yaitu “persatuan dan kesatuan”.
Dalam bentuk yang mungkin tak disadarinya, ia juga menjadi pelopor kesetiakawanan yang melintasi batas teritori dan budaya. Ketika Kartini terpaksa menampik beasiswa balajar ke Belanda, ia memohon (merekomendasi) agar beasiswa itu dialihkan saja kepada seorang pemuda Sumatera yang menurutnya amatlah pandai dan berbakat yang sayangnya tidak memiliki kecukupan biaya. Siapa pemuda yang dimaksudkan Kartini? Tak lain adalah Haji Agus Salim. Kartini tidak merekomendasikan salah satu adik perempuannya maupun pemuda Jawa lain yang ia kenal. Dengan demikian, pinjam bahasa Pram, ia sudah terbebas dari jebakan “provinsialisme”.
Kartini memang banyak mengemukakan kekaguman pada kebudayaan Eropa. Hanya saja penting diingat, bahwa Kartini tidak buta dan terpesona habis oleh prestasi bangsa Eropa. Kartini sudah sadar bahwa Eropa bukan satu-satunya pola yang harus diikuti. Ia juga sadar bahwa Eropa bukanlah surga.
Yang ia lakukan dan katakan karenanya bukanlah pembenaran terhadap penjajahan. Sama sekali tidak. Pram yakin, Kartini “...dengan ketajaman daya observasinya melihat kekuatan-kekuatan yang ada pada penjajah, mengambilnya, dibawanya pulang, untuk memperlengkapi bangsanya dengan kekuatan baru.” (hal. 124) Mungkin lebih tepat dikatakan, Kartini melakukan penguasaan atas realitas dan lantas menggunakannya.
Adalah luar biasa membayangkan seorang perempuan bumiputera berusia duapuluh (saat Kartini mulai menulis surat-suratnya), yang cuma tamatan Sekolah Rendah, tanpa kesempatan meneruskan sekolah, dan hanya susah payah belajar sendiri, bisa sedemikian maju pikiran, pengetahuan dan kepeloporannya. Karenanya janggal jika pribadi dengan kemampuan dan jasa yang demikian besar hanya dirayakan dan dihormati dengan ritus lomba masak-memasak dan rias-merias.
***
Panggil Aku Kartini Saja bukanlah karya tanpa nila. Dalam beberapa bagian, Pramoedya tampak agak berlebihan dalam melakukan interpretasi. Hanya karena pernah membaca karya penting kaum feminis macam Berthold Maryan-nya Huygens dan Hilda van Suylenberg, Pram berani mendedahkan interpretasi betapa “...Kartini telah sampai pada teori tentang Revolusi Sosialis, yang bertujuan merobohkan nilai-nilai secara total, dan menggantinya dengan nilai-nilai baru.” (hal. 169) Ketika Kartini mengaku telah membaca De Varlandsche Geschiedenis (Sedjarah TanahAir Belanda), Pram juga dengan berani memberi interpretasi bahwa buku itulah “...yang meresapkan pengertian dalam kalbu Kartini, bahwa kekuatan sesuatu negeri sama sekali tidak terletak pada besar kecilnya jumlah penduduk, ...pastilah Kartini mengagumi perjuangan patriotik Willem van Oranje, ...dan juga mengagumi perlawanan kesatuan rakyat jelata yang dinamai Watergauzen.” (hal. 145) Interpretasi itu mungkin agak berlebihan, mengingat dalam suratnya, Kartini hanya menyebut betapa menyenangkannya membaca buku itu. Lain tidak.
Dalam historiografi, interpretasi tentu saja bukan barang haram. Bahkan, tak akan ada historiografi tanpa interpretasi. Tetapi, interpretasi hanya dimungkinkan selama sumber-sumber sejarah (baik primer atau sekunder) itu tersedia secara memadai. Di sinilah barangkali pangkal soal terletak. Seperti diakui Pram di pengantarnya, bahan-bahan untuk penelitian ini memang amat terbatas.
Karya ini memang tidak memenuhi target seperti yang dipancangkan penulisnya sendiri yang bermaksud menghadirkan Kartini “bukan sebagai dewa-dewa”. Barangkali, penerbitan dua jilid terakhir naskah Panggil Aku Kartini Saja bisa memenuhi hasrat itu. Sayangnya, kuku bengis nan bar-bar Orde Baru telah menghancurkan dua jilid terakhir buku ini, sehingga cuma dua jilid awal ini saja yang bisa kita nikmati.
Lewat buku ini, Pram ingin mengingatkan betapa kita pernah memiliki Kartini: perempuan yang dikepung berlapis-lapis kerterbatasan dan hambatan, tetapi justru memiliki cita-cita dan potensi yang jauh lebih besar dari yang pernah kita kira sebelumnya. [*]

--ZEN RACHMAT SUGITO, Bekerja di Riset Independen Arsip kenegaraan (RIAK) Jakarta

Sumber:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar