|
Judul: Panggil Aku
Kartini Saja
Penulis: Pramoedya Ananata Toer Penerbit: Lentera Dipantara, Jakarta Cetakan: I, Juli 2003 Halaman: 301 halaman |
Pada 1899, seorang perempuan pribumi menampik dipanggil Raden
Ajeng. Sebagai putri seorang bupati, ia sebenarnya ia berhak menerima
penghormatan itu. Tapi setegasnya ia tolak. Di sebuah suratnya, perempuan itu
menulis: “Panggil Aku Kartini saja—itulah namaku!”
Apa yang menarik dari kutipan di atas? Singkat saja: Kartini
(diam-diam) sudah melakukan pemberontakan atas nilai-nilai kebudayaan Jawa yang
feodalistik. Tentu saja ini simpulan yang mengagetkan. Bukan apa-apa, masalahnya
pemahaman kita terhadap Kartini memang amat terbatas, jika tidak disebut
dangkal, atau bahkan reduksionistik: Kartini adalah pelopor emansipasi
perempuan. Titik. Simak pula ritus yang diadakan tiap 21 April sebagai
selebrasi kelahirannya: lomba masak-memasak atau rias-merias, sedang Ibu-ibu
Dharma Wanita atau PKK mendadak pakai kebaya.
Sedemikian lama pemahaman sempit tentang Kartini itu bertahan.
Hanya segelintir yang tahu, kalau Kartini bukan sekadar pelopor emansipasi
perempuan, melainkan juga “pengkritik yang tangguh dari feodalisme Jawa dengan
segala tetek bengek kerumitannya”, sekaligus juga sebagai “pemula dari sejarah
modern Indonesia”. Panggil Aku Kartini Saja adalah biografi yang mencoba
menelusuri riwayat Kartini selengkap-lengkapnya, termasuk peran-peran yang
selama ini terlampau disempitkan dan disederhanakan, berikut segala kelebihan
dan kekurangannya sebagai manusia.
***
Pramoedya langsung mengajak pembacanya berpolemik dengan
mengatakan “Kartini sebagai pemikir modern Indonesia pertama-tama, yang
tanpanya, penyusunan sejarah modern Indonesia tidaklah mungkin.” (hal. 14) Ini
jelas menantang. Pram bukannya tidak mengerti betapa posisi Kartini di kalangan
Indonesia sendiri masih diperdebatkan. Alih-alih menyebutnya “pahlawan bangsa”,
sementara orang malah lebih menganggap Kartini sebagai “orang Belanda” yang
dididik dengan cara dan dalam kultur Belanda, yang dikemudian hari juga hanya
menulis dalam Belanda, bukan Melayu atau Jawa.
Masalahnya, demikian Pram, Kartini memang tidak pernah mendapat
pelajaran bahasa Melayu atau Jawa (hal. 204). Pelajaran yang diterimanya di
Sekolah Rendah memang hanya bahasa Belanda. Tetapi bukan berarti Kartini tak
mencoba belajar menulis bahasa Melayu dan Jawa. Dalam surat bertarikh 11
Oktober 1902 untuk karibnya, Stella Zeehandelaar, Kartini sudah berangan-angan:
“Kelak aku akan menempuh ujian bahasa-bahasa pribumi, Jawa dan Melayu."
Tapi faktanya, Kartini cuma dikenal sebagai pengarang berbahasa
Belanda. Hal ini bisa jadi berkait erat dengan pilihan Kartini yang lebih
memilih audiens yang berbahasa Belanda. Jadi ini soal pilihan. Lantas, kenapa
Kartini lebih memilih pembaca berbahasa Belanda? Pram menjawab: “Kartini memang
dengan sadar hendak memberikan arah baru pada kaum intelektual yang pada masa
itu berbahasa Belanda. Lagi pula, jika ia menulis bahasa Jawa, toh masih amat
sedikit publik Jawa yang bisa baca-tulis.” Ia khawatir yang ia tulis akan
sia-sia.
Lantas, bagaimana menjelaskan Kartini sebagai “pemikir Indonesia
modern pertama yang menjadi pemula sejarah Indonesia modern sekaligus”? Pram
memberi ancang-ancang: Jangan lupakan kenyataan historis betapa Kartini saat
itu hidup dalam taraf kesadaran nasional yang paling awal, yang masih berbentuk
embrio serta masih jauh dari kebulatan. Dengan ancang-ancang itu, kita tak
keget sewaktu membaca Door duisternis tot Licht (Habis Gelap Terbitlah Terang)
kita tak temui kata “kesadaran nasional”, “nasionalisme”, “demokrasi”,
“negara”, “bangsa” hingga “kemerdekaan”. Tanpa pemahaman akan latar historis
Kartini hidup, kita berarti tak mau tahu akan posisi Kartini.
Dalam gumpalan otak dan hati Kartini, kesadaran nasional itu
muncul dalam bentuknya yang “halus dan diam-diam”, tapi bukannya tak disadari.
Simak kata-katanya: “Rasa setiakawan memang tiada terdapat pada masyarakat
Inlander, dan sebaliknya yang demikianlah justru yang harus disemaikan, karena
tanpa dia kemajuan Rakyat seluruhnya tidak mungkin.” (hal. 106). Kita tahu,
frase “setiakawan” yang disebutnya itu dikemudian hari kembali muncul dalam
bentuk yang berbeda, tapi dengan arti yang kurang lebih hampir sama, yaitu
“persatuan dan kesatuan”.
Dalam bentuk yang mungkin tak disadarinya, ia juga menjadi pelopor
kesetiakawanan yang melintasi batas teritori dan budaya. Ketika Kartini
terpaksa menampik beasiswa balajar ke Belanda, ia memohon (merekomendasi) agar
beasiswa itu dialihkan saja kepada seorang pemuda Sumatera yang menurutnya
amatlah pandai dan berbakat yang sayangnya tidak memiliki kecukupan biaya.
Siapa pemuda yang dimaksudkan Kartini? Tak lain adalah Haji Agus Salim. Kartini
tidak merekomendasikan salah satu adik perempuannya maupun pemuda Jawa lain
yang ia kenal. Dengan demikian, pinjam bahasa Pram, ia sudah terbebas dari
jebakan “provinsialisme”.
Kartini memang banyak mengemukakan kekaguman pada kebudayaan
Eropa. Hanya saja penting diingat, bahwa Kartini tidak buta dan terpesona habis
oleh prestasi bangsa Eropa. Kartini sudah sadar bahwa Eropa bukan satu-satunya
pola yang harus diikuti. Ia juga sadar bahwa Eropa bukanlah surga.
Yang ia lakukan dan katakan karenanya bukanlah pembenaran terhadap
penjajahan. Sama sekali tidak. Pram yakin, Kartini “...dengan ketajaman daya
observasinya melihat kekuatan-kekuatan yang ada pada penjajah, mengambilnya,
dibawanya pulang, untuk memperlengkapi bangsanya dengan kekuatan baru.” (hal.
124) Mungkin lebih tepat dikatakan, Kartini melakukan penguasaan atas realitas
dan lantas menggunakannya.
Adalah luar biasa membayangkan seorang perempuan bumiputera
berusia duapuluh (saat Kartini mulai menulis surat-suratnya), yang cuma tamatan
Sekolah Rendah, tanpa kesempatan meneruskan sekolah, dan hanya susah payah
belajar sendiri, bisa sedemikian maju pikiran, pengetahuan dan kepeloporannya.
Karenanya janggal jika pribadi dengan kemampuan dan jasa yang demikian besar
hanya dirayakan dan dihormati dengan ritus lomba masak-memasak dan rias-merias.
***
Panggil Aku Kartini Saja bukanlah karya tanpa nila. Dalam beberapa
bagian, Pramoedya tampak agak berlebihan dalam melakukan interpretasi. Hanya
karena pernah membaca karya penting kaum feminis macam Berthold Maryan-nya
Huygens dan Hilda van Suylenberg, Pram berani mendedahkan interpretasi betapa
“...Kartini telah sampai pada teori tentang Revolusi Sosialis, yang bertujuan
merobohkan nilai-nilai secara total, dan menggantinya dengan nilai-nilai baru.”
(hal. 169) Ketika Kartini mengaku telah membaca De Varlandsche Geschiedenis
(Sedjarah TanahAir Belanda), Pram juga dengan berani memberi interpretasi bahwa
buku itulah “...yang meresapkan pengertian dalam kalbu Kartini, bahwa kekuatan
sesuatu negeri sama sekali tidak terletak pada besar kecilnya jumlah penduduk,
...pastilah Kartini mengagumi perjuangan patriotik Willem van Oranje, ...dan
juga mengagumi perlawanan kesatuan rakyat jelata yang dinamai Watergauzen.”
(hal. 145) Interpretasi itu mungkin agak berlebihan, mengingat dalam suratnya,
Kartini hanya menyebut betapa menyenangkannya membaca buku itu. Lain tidak.
Dalam historiografi, interpretasi tentu saja bukan barang haram.
Bahkan, tak akan ada historiografi tanpa interpretasi. Tetapi, interpretasi
hanya dimungkinkan selama sumber-sumber sejarah (baik primer atau sekunder) itu
tersedia secara memadai. Di sinilah barangkali pangkal soal terletak. Seperti
diakui Pram di pengantarnya, bahan-bahan untuk penelitian ini memang amat
terbatas.
Karya ini memang tidak memenuhi target seperti yang dipancangkan
penulisnya sendiri yang bermaksud menghadirkan Kartini “bukan sebagai
dewa-dewa”. Barangkali, penerbitan dua jilid terakhir naskah Panggil Aku
Kartini Saja bisa memenuhi hasrat itu. Sayangnya, kuku bengis nan bar-bar Orde
Baru telah menghancurkan dua jilid terakhir buku ini, sehingga cuma dua jilid
awal ini saja yang bisa kita nikmati.
Lewat buku ini, Pram ingin mengingatkan betapa kita pernah
memiliki Kartini: perempuan yang dikepung berlapis-lapis kerterbatasan dan
hambatan, tetapi justru memiliki cita-cita dan potensi yang jauh lebih besar
dari yang pernah kita kira sebelumnya. [*]
--ZEN RACHMAT SUGITO, Bekerja di Riset Independen Arsip kenegaraan (RIAK) Jakarta
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar