|
Judul: Jejak Spiritual Kiai Jampes
Penulis: Murtadho Hadi Penerbit: Pustaka Pesantren, LKiS Yogyakarta Cetakan: I, Januari 2008 Tebal: xii + 76 halaman Peresensi: Anwar Nuris*) |
Konon, banyak ulama dan pakar bahasa
Arab, termasuk ulama Al-Azhar (Mesir), yang tidak segera percaya saat mereka
tahu bahwa pengarang kitab Amtsilatut Tashrifiyyah adalah KH Makshum Ali
dari Jombang, Indonesia, yang dimaklumi tidak menggunakan bahasa Arab sebagai
bahasa ibu. Kitab Ilmu Tashrif (konjugasi) ini terkenal karena dapat
menjelaskan proses bentukan kata dan tata matra (wazan) secara ringkas.
Begitu pula yang terjadi pada KH
Ihsan bin Dahlan Jampes, dengan salah satu karya monumentalnya berjudul Sirojuth
Tholibin sebagai kitab sarah/penjelas dari Minhajul ’Abidin-nya
Imam Al-Ghazali, mampu membuat penasaran para penggemar “etika al-Ghazali” di
Eropa, karena mereka mengakui doktrin-doktrin Imam al-Ghazali yang begitu rumit
namun dengan gamblang diuraikan Kiai Ihsan. Bahkan, ketika kitab Sirojuth
Tholibin terbit dan beredar di dalam maupun di luar negeri, datanglah
utusan Raja Faruq dari Mesir yang meminta Kiai Ihsan untuk mengajar di
Universitas al-Azhar. Tetapi, dia lebih memilih untuk tetap tinggal di
pesantrennya, menjadi teman setia santri dan mengajari mereka keluhuran akhlak.
(hal. 24)
Kiai Ihsan bin Dahlan (1901-1952)
lahir di Jampes, Kediri. Dia masih keturunan Raden Rahmatullah (dari Surabaya)
melalui jalur nasab pihak perempuan, yaitu Nyai Isti’anah. Pertanyaannya,
mengapa membaca sosok Kiai Ihsan ini atau membaca buku ini sangat menarik?
Tidak lain karena intelektualitas paripurna Kiai Ihsan yang ditopang
ketangguhan dan pengalaman-pengalaman yang unik dalam pergulatan spiritualnya.
Jadi, dengan kemakrifatan dan
ketinggian ilmunya, Kiai Ihsan (begitu sapaan akrab dalam buku ini) mampu
memadukan dirinya dengan pencipta dan hubungannya dengan sesama. Melalui jalan
asketisnya, dia mampu menembus jalan wushul kehidupan akhirat, ditambah
sosoknya yang yang humoris, kreatif, dan ber-saharul lail (nyangkruk)
dengan kopi dan rokok, sehingga begitu dekat dengan alam sekitarnya, terutama
dengan santrinya.
Sebagai bukti kreativitas Kiai
Ihsan, dia banyak melahirkan cakrawala-cakrawala pemikirannya dalam bentuk
karya tulisan. Di antaranya yang sempat terlacak adalah kitab Sirojuth
Tholibin (Pelita Para Pencari), Irsyadul Ikhwan; fi bayani hukmi qahwati
wad Dukhan (Sebuah Risalah Tentang Kopi dan Rokok), Tashribul Ibarat (Kitab
Falak Syarah Natijatul Miqat-nya Kiai Dahlan, Semarang), dan Kitab Manahijul
Imdad (syarah Irsyadul Ibad-nya Kiai Zainuddin dari India-Selatan).
Pada tingkatan sastra, Kiai Ihsan
telah menunjukkan betapa kuatnya dia dalam cabang yang satu ini. Hal itu
diketahui dari karyanya berjudul Irsyadul Ikhwan; fi bayani Qahwati wad
Dukhan, sebuah syair-syair yang indah yang memuat tentang kopi dan rokok.
Dalam hal politik praktis, Kiai
Ihsan bisa dijadikan parameter. Sebab, sebagai sosok yang mempunyai peran luas
dalam sosial kemasyarakatan, dia paham betul dengan high-politics (strategi
politik tingkat tinggi) sehingga tidak lantas menjual harga diri pesantren. Hal
itu tercermin dari sikapnya pada masa-masa penjajahan, revolusi fisik dan bahkan
dengan partai, terutama Partai Komunis Indonesia (PKI) saat itu.
Harus diakui, daya pikat politik
telah mengubah pandangan hidup banyak kiai dalam memandang ragam pengabdian
kepada masyarakat. Meski jika kembali mempertimbangkan faktor semangat zaman
dan motivasi, tentu kita bisa memakluminya. Sebab, di zaman sekarang, siapakah
yang mau benar-benar senekat Jalaluddin As-Suyuthi yang mengasingkan diri dari
khalayak ramai untuk benar-benar menyibukkan diri hanya untuk menulis sehingga
menghasilkan lebih 600-an karya dari berbagai disiplin ilmu.
Kembali kepada term buku ini,
Murtadho Hadi, penulis buku ini, juga mengupas pemikiran Kiai Ihsan dalam
bidang tasawuf sebagaimana yang tertera dalam karya monumentalnya, Sirajuth
Thalibin, baik dari narasi besarnya yang merujuk pada kitab Minhajul
'Abidin-nya al-Ghazali atau nilai-nilai sufistik yang terkandung di
dalamnya.
Menurut Kiai Ihsan, terdapat tujuh
upaya berat/jalan terjal (aqabah) untuk mencapai wushul kepada Rabbul
Jalil, yaitu ‘aqabtul ilmi (jalan terjal di dalam ilmu), ‘aqabatut
taubah (jalan terjal di dalam tobat), ‘aqabatul awa’iq (antisipasi
rintangan dan penghalang), ‘aqabatul ‘awarih (upaya menghadapi
persoalan-persoalan yang sifatnya duniawi), ‘aqabatul bawa’its (upaya
membangkitkan kerinduan yang mendalam kepada Sang Khaliq), ‘aqabatul
qawadhih (upaya untuk mencapai kebersihan jiwa dan mencapai maqam
kemurnian), dan ‘aqabatul hamdi was syukri (upaya untuk mencapai maqam
syukur yang sebenarnya).
Beberapa isi pokok dalam buku “Jejak
Spiritual Kiai Jampes” ini, memang sedikit banyak mengikuti apa yang pernah
digeluti para sufi Islam yang lain. Seperti Walisongo, di mana ajaran Islam
merupakan sebuah gerakan, pengetahuan, dan sikap yang harus diejawantahkan
dalam kehidupan masyarakat yang mempunyai sifat keberagaman hanif, toleran, dan
damai.
Tak pelak lagi, buku ini penting
dibaca kembali siapa pun yang ingin menghayati semangat kaum sufi atau
nilai-nilai dasar Islam, khususnya para santri di pesantren. Dan bisa
dikatakan, buku ini juga termasuk bagian dari “intisari” ajaran Islam yang
diyakini sebagai fitrah, yaitu proses perjalanan panjang seorang sufi untuk
mencapai Rabb-nya. Seperti semangat yang sering dijalani penganut agama-agama
lain.
Hanya, buku ini memiliki kelemahan
tersendiri, seperti yang diakui penulis bahwa buku ini lahir dari perbincangan
santai dengan para sarkub (sarjana kuburan) di pojok-pojok warung kopi
yang ada di sekitar kuburan yang pernah penulis ziarahi, sehingga lebih banyak
mengandalkan ingatan, terutama menyangkut nama-nama dan judul-judul kitab.
Jadi, bisa dikatakan judul buku ini tidak bisa merepresentasikan isi buku.
Namun, yang demikian itu tetap
merupakan upaya yang patut dihargai dan diapresiasi bersama, bahwa kehadiran
buku setebal 76 halaman ini bisa menjadi santapan alternatif mengingat kembali
dimensi terpenting pergulatan spiritual hamba mencapai tingkatan insan kamil.
Sebab, uraian-uraian sufistik dalam buku ini cukup memberi inspirasi dan
pencerahan sekaligus menyimpan hikmah yang cukup mendalam.[*]
*) Mahasiswa Fakultas Tarbiyah
IAIN Sunan Ampel, Surabaya, Jawa Timur
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar