(*) PERPUSTAKAAN MA AL-MUNAWWAROH KEMBANGBAHU (*) creative studies corner (*)

Selasa, 08 Juli 2014

Zig Zag (kumpulan cerpen)



Judul: Zig Zag (kumpulan cerpen)
Penulis: Putu Wijaya
Penerbit: Pustaka Firdaus, 1996
Tebal: 456 halaman



Seberapa kali kita meminta jalan lurus kepada Tuhan dalam rentang  muncul –tenggelamnya mentari? Dan seberapa sering Tuhan memberikannya? Jika Tuhan benar-benar memberikan kelurusan jalan apakah kita sendiri sudah siap menjalani “kelurusan” itu sendiri? Atau jangan-jangan kita memang tidak peduli dengan permintaan kecuali sebatas kata yang tak bertuah, hanya mengikuti kerutinan supaya dianggap alim? Atau bisa pula, sebenarnya, memang kita sedang menikmati jalan ketidaklurusan itu!
Saya sendiri juga merasakan hal yang sama: meminta tetapi seakan-akan terus menjauh dari yang diminta. Hingga menyeret pikiran: apakah saya telah menjalani rutinitas yang tak pernah saya pahami? Menjebak diri pada hal yang sebenarnya “mabuk” di dalamnya. Berkali saya ucapkan dalam laku, berkali pula kemunafikan muncul. Jika ada yang bilang: “Engkau masih mempertimbangkan untung-rugi, menjaga nama baik, tidak menuruti kata hati!” ya, benar adanya, seyogyanya harus saya akui jika selama ini kehati-hatian menjaga nama baik selayaknya menjaga “emas” dari tilapan pencuri. Jangan sampai nama baik tercemar sehingga diri hambar di mata khalayak. Bukankah nama baik itu sangat penting di tengah kancah kehidupan masyarakat yang masih menilik “siapa dia”?
Atau, saya sendiri sebetulnya salah mengartikan do’a itu? Yang selalu saya pahami sebagai permintaan “jalan lurus”?  “ihdina ash-shisirothol al-mustaqim” itu tak lain jalan “wong kang manggeh kabegjan”, jalan orang yang meraih kebahagian. Begitu salah satu syair Jawa yang di bawakan Kyai Kanjeng. Jadi, bukan jalan lurus, jalan yang tanpa tikungan dan turun naik, tetapi jalan kebahagiaan. Dan kebahagiaan jarang sekali bisa ditempuh dengan mudah, lancar tanpa ada halangan. Kebahagian itu penuh liku.
Nabi yang oleh Tuhan dijanjikan kehidupan bahagia di akhirat harus menjalani kehidupannya dengan berbagai cemoohan, sangka buruk, intimidasi agar mendapatkan kebahagian. Sri Rama demi mendapat Dewi Sinta harus “toh nyowo” menghadapi Dasamuka. Begitu pula dengan Pandawa, demi mendapatkan tahta yang sah, mereka harus rela hidup dalam pembuangan lebih dari dasa tahun dan kemudian disusul dengan pecah perang saudara (kurawa). Mengapa itu semua dilakukan? Jawabnya, ya, karena dalam diri Dewi Sinta, di atas “dampar kencono” ada kebahagian. Meski kebahagiaan bukanlah Dewi Sinta atau dampar kencono itu sendiri.
Marilah kita renungkan: adakah manusia yang menjalani kehidupan manusia ini dengan lurus? Para nabi, itu jawaban yang sering muncul. Tetapi benarkah para nabi itu tak pernah salah? Tentunya pernah, sebagai manusia para nabi juga mengalami salah meski tingkat dan kualitas salahnya berbeda dengan manusia biasa. Nabi Musa pernah meminta Tuhan menunjukkan diri supaya ia (Musa) bisa melihat dan memantapi keyakinannya. Meski ketika Tuhan hendak mengejawantah Musa sendiri tak kuat menerima gejala Tuhan. Nabi Sulaiman, yang terkenal kaya dan cerdas merasa ingin menggantikan Tuhan dengan menjamin kebutuhan makan makhluk tetapi gagal hanya gara-gara makanannya tidak mencukupi untuk golongan ikan. Nabi Muhammad juga mengalami hal yang sama, merasa malu ketika Beliau dakwah di antara kaum bangsawan Quraisy tiba-tiba nyelonong lelaki buta dan menanyakan beberapa hal.
Benar-salah, sadar-tak sadar yang dijalani manusia dalam hidupnya sepertinya garam-gula, cabe-penyedap rasa dalam komposisi sambal. Jika salah satu kelebihan takaran maka rasa enak sebagai sambal lenyap. Itu semua hanya sebagai pemertegas keeksistensian manusia. Maka yang perlu diperhatikan adalah bagaimana mengatur kadar porsi bahan-bahan tersebut.
Manusia memang tak bisa diterka. Manusia itu “tan kinoyo opo”. Meski seperangkat ilmu bermunculan yang mencoba menganalisa perilaku dan menetapkan sifat-sifatnya, tetapi rasanya juga tidak seratus persen benar. Semakin diterka, manusia akan bermanuver dengan sikap lain. Manusia bukan baranga mekanis yang bisa ditentukan dengan Teori Newton. Meminjam istilah Heisenberg, manusia hidup merunut “Azaz Ketidakpastian”. Sulit ditentukan “abang-ijo”nya.
Membaca “Zig Zag” kumpulan cerpennya Putu Wijaya kita akan disadarkan kembali jika: kita masih manusia yang memiliki berbagai kemungkinan. Inilah jalan zig zag manusia. Jalan yang tak bisa diterka dan dengan mudah kita simpulkan hanya dengan berdiri di salah satu ujungnya kecuali kita sendiri mencebur ke dalamnya. Putu wijaya, oleh Kang Sobari (Mohammad Sobari) sebagai “Khorikul”: kyai yang melihat dimensi kehidupan dengan cara tidak lumrah, berhasil melakonkan cerita-ceritanya dengan menjungkir balikkan logika umum. Penuh zig-zag.
Putu wijaya adalah dalang yang bisa saja melakonkan kebaikan Pandawa di awal cerita tetapi di akhir cerita bisa berkebalikan. Ia mampu merubah hijau menjadi merah. Sebab Pandawa, jika crita itu masih mengacu kehidupan manusia, tentunya tak bisa luput dari sifat-sifat baik-buruk. Pandawa boleh saja menelikung dalam lakon baiknya yang selama ini diterima dalam pagelaran wayang.
Namun, siapkah kita menerima tokoh yang telah beberapa abad ditelanjangi baju kebaikannya dan digantikan dengan baju keburukan? Rasanya kok tidak. Tak hanya dalam cerita wayang ketidaksiapan itu kita tunjukkan tetapi dalam ranah kehidupan lain. Jika ada tokoh, lembaga atau hal lain yang kita elu-elukan tiba “kepleset” ramai-ramai kita tidak mempercayai jika memang ia “kepleset”. Kita bela mati-matian, seakan noktah hitam tak layak bersentuhan. Banyak yang terjebak pada awal, sehingga buta pada akhir. Silau dengan penampilan, tatkala yang berpenampilan diam-diam berbuat keburukan tetap saja dibela tanpa nalar yang lumrah. Ngono yo ngono tapi ojo ngono. [*]


Khoirul Anwar, Esais dan penggiat Sastra Pedalaman, tinggal di Yogyakarta

Diambil dari:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar