|
Judul: Zig Zag (kumpulan cerpen)
Penulis: Putu Wijaya
Penerbit: Pustaka Firdaus, 1996
Tebal: 456 halaman
|
Seberapa kali kita meminta jalan
lurus kepada Tuhan dalam rentang muncul –tenggelamnya mentari? Dan
seberapa sering Tuhan memberikannya? Jika Tuhan benar-benar memberikan
kelurusan jalan apakah kita sendiri sudah siap menjalani “kelurusan” itu
sendiri? Atau jangan-jangan kita memang tidak peduli dengan permintaan kecuali
sebatas kata yang tak bertuah, hanya mengikuti kerutinan supaya dianggap alim?
Atau bisa pula, sebenarnya, memang kita sedang menikmati jalan ketidaklurusan
itu!
Saya sendiri juga merasakan hal yang
sama: meminta tetapi seakan-akan terus menjauh dari yang diminta. Hingga
menyeret pikiran: apakah saya telah menjalani rutinitas yang tak pernah saya
pahami? Menjebak diri pada hal yang sebenarnya “mabuk” di dalamnya. Berkali
saya ucapkan dalam laku, berkali pula kemunafikan muncul. Jika ada yang bilang:
“Engkau masih mempertimbangkan untung-rugi, menjaga nama baik, tidak menuruti
kata hati!” ya, benar adanya, seyogyanya harus saya akui jika selama ini
kehati-hatian menjaga nama baik selayaknya menjaga “emas” dari tilapan pencuri.
Jangan sampai nama baik tercemar sehingga diri hambar di mata khalayak. Bukankah
nama baik itu sangat penting di tengah kancah kehidupan masyarakat yang masih
menilik “siapa dia”?
Atau, saya sendiri sebetulnya salah
mengartikan do’a itu? Yang selalu saya pahami sebagai permintaan “jalan
lurus”? “ihdina ash-shisirothol al-mustaqim” itu tak lain jalan “wong
kang manggeh kabegjan”, jalan orang yang meraih kebahagian. Begitu salah satu
syair Jawa yang di bawakan Kyai Kanjeng. Jadi, bukan jalan lurus, jalan yang
tanpa tikungan dan turun naik, tetapi jalan kebahagiaan. Dan kebahagiaan jarang
sekali bisa ditempuh dengan mudah, lancar tanpa ada halangan. Kebahagian itu
penuh liku.
Nabi yang oleh Tuhan dijanjikan
kehidupan bahagia di akhirat harus menjalani kehidupannya dengan berbagai
cemoohan, sangka buruk, intimidasi agar mendapatkan kebahagian. Sri Rama demi
mendapat Dewi Sinta harus “toh nyowo” menghadapi Dasamuka. Begitu pula dengan
Pandawa, demi mendapatkan tahta yang sah, mereka harus rela hidup dalam
pembuangan lebih dari dasa tahun dan kemudian disusul dengan pecah perang
saudara (kurawa). Mengapa itu semua dilakukan? Jawabnya, ya, karena dalam diri
Dewi Sinta, di atas “dampar kencono” ada kebahagian. Meski kebahagiaan bukanlah
Dewi Sinta atau dampar kencono itu sendiri.
Marilah kita renungkan: adakah
manusia yang menjalani kehidupan manusia ini dengan lurus? Para nabi, itu
jawaban yang sering muncul. Tetapi benarkah para nabi itu tak pernah salah?
Tentunya pernah, sebagai manusia para nabi juga mengalami salah meski tingkat
dan kualitas salahnya berbeda dengan manusia biasa. Nabi Musa pernah meminta
Tuhan menunjukkan diri supaya ia (Musa) bisa melihat dan memantapi
keyakinannya. Meski ketika Tuhan hendak mengejawantah Musa sendiri tak kuat
menerima gejala Tuhan. Nabi Sulaiman, yang terkenal kaya dan cerdas merasa
ingin menggantikan Tuhan dengan menjamin kebutuhan makan makhluk tetapi gagal
hanya gara-gara makanannya tidak mencukupi untuk golongan ikan. Nabi Muhammad
juga mengalami hal yang sama, merasa malu ketika Beliau dakwah di antara kaum
bangsawan Quraisy tiba-tiba nyelonong lelaki buta dan menanyakan beberapa hal.
Benar-salah, sadar-tak sadar yang
dijalani manusia dalam hidupnya sepertinya garam-gula, cabe-penyedap rasa dalam
komposisi sambal. Jika salah satu kelebihan takaran maka rasa enak sebagai
sambal lenyap. Itu semua hanya sebagai pemertegas keeksistensian manusia. Maka
yang perlu diperhatikan adalah bagaimana mengatur kadar porsi bahan-bahan
tersebut.
Manusia memang tak bisa diterka.
Manusia itu “tan kinoyo opo”. Meski seperangkat ilmu bermunculan yang mencoba
menganalisa perilaku dan menetapkan sifat-sifatnya, tetapi rasanya juga tidak
seratus persen benar. Semakin diterka, manusia akan bermanuver dengan sikap
lain. Manusia bukan baranga mekanis yang bisa ditentukan dengan Teori Newton.
Meminjam istilah Heisenberg, manusia hidup merunut “Azaz Ketidakpastian”. Sulit
ditentukan “abang-ijo”nya.
Membaca “Zig Zag” kumpulan cerpennya
Putu Wijaya kita akan disadarkan kembali jika: kita masih manusia yang memiliki
berbagai kemungkinan. Inilah jalan zig zag manusia. Jalan yang tak bisa diterka
dan dengan mudah kita simpulkan hanya dengan berdiri di salah satu ujungnya
kecuali kita sendiri mencebur ke dalamnya. Putu wijaya, oleh Kang Sobari
(Mohammad Sobari) sebagai “Khorikul”: kyai yang melihat dimensi kehidupan
dengan cara tidak lumrah, berhasil melakonkan cerita-ceritanya dengan
menjungkir balikkan logika umum. Penuh zig-zag.
Putu wijaya adalah dalang yang bisa
saja melakonkan kebaikan Pandawa di awal cerita tetapi di akhir cerita bisa
berkebalikan. Ia mampu merubah hijau menjadi merah. Sebab Pandawa, jika crita
itu masih mengacu kehidupan manusia, tentunya tak bisa luput dari sifat-sifat
baik-buruk. Pandawa boleh saja menelikung dalam lakon baiknya yang selama ini
diterima dalam pagelaran wayang.
Namun, siapkah kita menerima tokoh
yang telah beberapa abad ditelanjangi baju kebaikannya dan digantikan dengan
baju keburukan? Rasanya kok tidak. Tak hanya dalam cerita wayang ketidaksiapan
itu kita tunjukkan tetapi dalam ranah kehidupan lain. Jika ada tokoh, lembaga
atau hal lain yang kita elu-elukan tiba “kepleset” ramai-ramai kita tidak
mempercayai jika memang ia “kepleset”. Kita bela mati-matian, seakan noktah
hitam tak layak bersentuhan. Banyak yang terjebak pada awal, sehingga buta pada
akhir. Silau dengan penampilan, tatkala yang berpenampilan diam-diam berbuat
keburukan tetap saja dibela tanpa nalar yang lumrah. Ngono yo ngono tapi ojo
ngono. [*]
Khoirul Anwar, Esais dan penggiat Sastra Pedalaman, tinggal di Yogyakarta
Diambil dari:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar